BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Lebih dari separuh (104,6 juta orang) dari
total penduduk Indonesia (208,2 juta orang) adalah perempuan. Namun, kualitas
hidup perempuan jauh tertinggal dibandingkan laki-laki. Masih sedikit sekali
perempuan yang mendapat akses dan peluang untuk berpartisipasi optimal dalam
proses pembangunan.
Angka Kematian Ibu (AKI) menurut survei
demografi kesehatan Indonesia (SDKI) 1994 masih cukup tinggi, yaitu 390 per
100.000 kelahiran (GOI & UNICEF, 2000). Penyebab kematian ibu terbesar
(58,1%) adalah perdarahan dan eklampsia. Kedua sebab itu sebenarnya dapat
dicegah dengan pemeriksaan kehamilan (antenatal care/ANC) yang memadai.
Walaupun proporsi perempuan usia 15-49 tahun yang melakukan ANC minimal 1 kali
telah mencapai lebih dari 80%, tetapi menurut SDKI 1994, hanya 43,2% yang
persalinannya ditolong oleh tenaga kesehatan. Persalinan oleh tenaga kesehatan
menurut SDKI 1997, masih sangat rendah, di mana sebesar 54% persalinan masih
ditolong oleh dukun bayi (GOI & UNICEF, 2000).
Namun
tidak semua kehamilan diharapkan kehadirannya. Setiap tahunnya, dari 175 juta
kehamilan yang terjadi di dunia terdapat sekitar 75 juta perempuan yang
mengalami kehamilan tak diinginkan (Sadik 1997). Banyak hal yang menyebabkan seorang
perempuan tidak menginginkan kehamilannya, antara lain karena perkosaan,
kehamilan yang terlanjur datang pada saat yang belum diharapkan, janin dalam
kandungan menderita cacat berat, kehamilan di luar nikah, gagal KB, dan
sebagainya. Ketika seorang perempuan mengalami kehamilan tak diinginkan (KTD),
diantara jalan keluar yang ditempuh adalah melakukan upaya aborsi, baik yang
dilakukan sendiri maupun dengan bantuan orang lain. Banyak diantaranya yang
memutuskan untuk mengakhiri kehamilannya dengan mencari pertolongan yang tidak
aman sehingga mereka mengalami komplikasi serius atau kematian karena ditangani
oleh orang yang tidak kompeten atau dengan peralatan yang tidak memenuhi
standar
Keputusan untuk melakukan aborsi bukan
merupakan pilihan yang mudah. Banyak perempuan harus berperang melawan perasaan
dan kepercayaannya mengenai nilai hidup seorang calon manusia yang
dikandungnya, sebelum akhirnya mengambil keputusan. Belum lagi penilaian moral
dari orang-orang sekitarnya bila sampai tindakannya ini diketahui. Hanya
orang-orang yang mampu berempati yang bisa merasakan betapa perempuan berada
dalam posisi yang sulit dan menderita ketika harus memutuskan untuk mengakhiri
kehamilannya.
Aborsi sering kali ditafsirkan sebagai
pembunuhan bayi, walaupun secara jelas Badan Kesehatan Dunia (WHO)
mendefinisikan aborsi sebagai penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup
di luar kandungan atau kurang dari 22 minggu (WHO 2000). Dengan perkembangan
tehnologi kedokteran yang sedemikian pesatnya, sesungguhnya perempuan tidak
harus mengalami kesakitan apalagi kematian karena aborsi sudah dapat
diselenggarakan secara sangat aman dengan menggunakan tehnologi yang sangat
sederhana. Bahkan dikatakan bahwa aborsi oleh tenaga profesional di tempat yang
memenuhi standar, tingkat keamanannya 10 kali lebih besar dibandingkan dengan
bila melanjutkan kehamilan hingga persalinan.
Menjadi remaja berarti menjalani proses berat
yang membutuhkan banyak penyesuaian dan menimbulkan kecemasan. Lonjakan
pertumbuhan badani dan pematangan organ-organ reproduksi adalah salah satu
masalah besar yang mereka hadapi. Perasaan seksual yang menguat tak bisa tidak
dialami oleh setiap remaja meskipun kadarnya berbeda satu dengan yang lain.
Begitu juga kemampuan untuk mengendalikannya.
Di Indonesia saat ini 62 juta remaja sedang
bertumbuh di Tanah Air. Artinya, satu dari lima orang Indonesia berada dalam
rentang usia remaja. Mereka adalah calon generasi penerus bangsa dan akan
menjadi orangtua bagi generasi berikutnya. Tentunya, dapat dibayangkan, betapa
besar pengaruh segala tindakan yang mereka lakukan saat ini kelak di kemudian
hari tatkala menjadi dewasa dan lebih jauh lagi bagi bangsa di masa depan.
Ketika
mereka harus berjuang mengenali sisi-sisi diri yang mengalami perubahan
fisik-psikis-sosial akibat pubertas, masyarakat justru berupaya keras
menyembunyikan segala hal tentang seks, meninggalkan remaja dengan berjuta
tanda tanya yang lalu lalang di kepala mereka.
Pandangan
bahwa seks adalah tabu, yang telah sekian lama tertanam, membuat remaja enggan
berdiskusi tentang kesehatan reproduksi dengan orang lain. Yang lebih
memprihatinkan, mereka justru merasa paling tak nyaman bila harus membahas
seksualitas dengan anggota keluarganya sendiri!
Tak
tersedianya informasi yang akurat dan “benar” tentang kesehatan reproduksi
memaksa remaja bergerilya mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri. Arus
komunikasi dan informasi mengalir deras menawarkan petualangan yang menantang.
Majalah, buku, dan film pornografi yang memaparkan kenikmatan hubungan seks
tanpa mengajarkan tanggung jawab yang harus disandang dan risiko yang harus
dihadapi, menjadi acuan utama mereka. Mereka juga melalap “pelajaran” seks dari
internet, meski saat ini aktivitas situs pornografi baru sekitar 2-3%, dan
sudah muncul situs-situs pelindung dari pornografi . Hasilnya, remaja yang
beberapa generasi lalu masih malu-malu kini sudah mulai melakukan hubungan seks
di usia dini, 13-15 tahun!
1. Tujuan
-
Untuk mengetahui dan memahami tentang aborsi yang terjadi pada remaja
-
Untuk mengetahui gambaran kasus aborsi pada remaja
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Aborsi
Aborsi
adalah tindakan penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan (sebelum usia 20 minggu kehamilan), bukan semata untuk menyelamatkan
jiwa ibu hamil dalam keadaan darurat tapi juga bisa karena sang ibu tidak
menghendaki kehamilan itu.
Di
kalangan ahli kedokteran dikenal dua macam abortus (keguguran kandungan) yakni
abortus spontan dan abortus buatan. Abortus spontan adalah merupakan mekanisme
alamiah yang menyebabkan terhentinya proses kehamilan sebelum berumur 28
minggu. Penyebabnya dapat oleh karena penyakit yang diderita si ibu ataupun
sebab-sebab lain yang pada umumnya gerhubungan dengan kelainan pada sistem
reproduksi.
Lain
halnya dengan abortus buatan, abortus dengan jenis ini merupakan suatu upaya
yang disengaja untuk menghentikan proses kehamilan sebelum berumur 28 minggu,
dimana janin (hasil konsepsi) yang dikeluarkan tidak bisa bertahan hidup di
dunia luar.
Abortus
buatan, jika ditinjau dari aspek hukum dapat digolongkan ke dalam dua golongan
yakni
Abortus buatan Legal
Yaitu
pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat dan cara-cara yang
dibenarkan oleh undang-undang. Populer juga disebut dengan abortus
provocatus therapcutius, karena alasan yang sangat mendasar untuk
melakukannya adalah untuk menyelamatkan nyawa/menyembuhkan si ibu.
Abortus Buatan Ilegal
Yaitu
pengguguran kandungan yang tujuannya selain dari pada untuk menyelamatkan/
menyembuhkan si ibu, dilakukan oleh tenaga yang tidak kompeten serta tidak
memenuhi syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang.
Abortus
golongan ini sering juga disebut dengan abortus provocatus criminalis,
karena di dalamnya mengandung unsur kriminal atau kejahatan.
B. Aspek
Hukum ( KUHP dan UU Kesehatan )
Di negara
Indonesia, dimana dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) tindakan
pengguguran kandungan yang disengaja digolongkan ke dalam kejahatan terhadap
nyawa (Bab XIX pasal 346 s/d 349). Namun dalam undang-undang Nomor 23 Tahun
1992 Tentang kesehatan pada pasal 15 dinyatakan bahwa dalam keadaan darurat
sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, dapat dilakukan
tindakan medis tertentu.
Dalam
KUHP Bab XIX Pasal 346 s/d 349 dinyatakan sebagai berikut:
Pasal
346 : “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun”.
Pasal
347 : (1) Barang siapa dengan sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2)
Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal
348 : (1) Barang siapa dengan sengaja
menggunakan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2)
Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam
dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun.
Pasal
349 : “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan dalam
pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat dditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana
kejahatan dilakukan”.
Dari
rumusan pasal-pasal tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.
Seorang wanita hamil yang sengaja melakukan
abortus atau ia menyuruh orang lain, diancam hukuman empat tahun penjara
2.
Seseorang yang sengaja melakukan abortus
terhadap ibu hamil, dengan tanpa persetujuan ibu hamil tersebut, diancam
hukuman penjara 12 tahun, dan jika ibu hamil tersebut mati, diancam 15 tahun
penjara.
3.
Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam
hukuman 5,5 tahun penjara dan bila ibu hamilnya mati diancam hukuman 7 tahun
penjara.
4.
Jika yang melakukan dan atau membantu
melakukan abortus tersebut seorang dokter, bidan atau juru obat (tenaga
kesehatan) ancaman hukumannya ditambah sepertiganya dan hak untuk berpraktek
dapat dicabut.
Pasal
15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta
rupiah).
Pada
penjelasan UU No.23 Tahun 1992 Pasal 15 dinyataka sebagai berikut:
Ayat (1) :
“Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun,
dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan
dan norma kesopanan”.
Namun
dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu atau janin
yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu.
Ayat (2)Butir
a : Indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil
tindakan medis tertentu, sebbab tanpa tindakan medis tertentu itu, ibu hamil
dan janinnya terancam bahaya maut.
Butir
b : Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga
yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya, yaitu seorang dokter
ahli kebidanan dan penyakit kandungan.
Butir
c : Hak utama untuk memberikan persetujuan ada pada ibu hamil yang
bersangkutan, kecuali dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan
persetujuannya, dapat diminta dari suami atau keluarganya.
Butir
d : Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan
peralatan yang memadai untuk tindakan tersebut dan telah ditunjuk oleh
pemerintah.
Ayat (3) :
Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan dari pasal inidijabarkan antara
lain mengenal keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya,
tenaga kesehaan mempunyai keahlian dan kewenangan bentuk persetujuan, sarana
kesehatan yang ditunjuk.
C. Unsafe
Abortion & KEMATIAN MATERNAL
Di
dunia setiap tahunnya diperkirakan 600.000 perempuan meninggal dunia karena
sebab-sebab yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan. Sekitar 13%
(78.000) dari kematian ibu karena tindakan aborsi yang tidak aman (The Alan
Guttmacher Institute 1999). Aborsi tidak aman merupakan urutan ketiga penyebab
kematian ibu di dunia (WHO 2000).
Tidak
pernah tersedia data yang pasti mengenai jumlah aborsi di Indonesia disebabkan
tidak adanya ketetapan hukum, sehingga tidak dapat dilakukan pencatatan data
mengenai tindakan aborsi terutama yang diselenggarakan secara tidak aman.
Akibatnya, aborsi tidak aman tidak pernah tercatat sebagai penyebab resmi
kematian ibu, karena terselubung dalam perdarahan dan infeksi, dua kategori
penyebab yang menyebabkan lebih dari separuh (55%) kematian ibu (Gunawan,
2000). Analisis lebih jauh data SKRT 1995 menyebutkan aborsi berkontribusi
terhadap 11,1% dari kematian ibu di Indonesia, atau satu dari sembilan kematian
ibu. Angka sebenarnya mungkin jauh lebih besar lagi, seperti dikemukakan oleh
Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI yang secara
informal memperkirakan kontribusi aborsi terhadap kematian ibu di Indonesia
sebesar 50%.
Padahal
pemerintah Indonesia termasuk salah satu dari sejumlah negara yang menyatakan
komitmen terhadap Program Aksi Konferensi Kependudukan (ICPD) di Kairo tahun
1994 untuk menurunkan risiko kematian ibu karena proses reproduksi (kehamilan,
persalinan dan pasca persalinan). Lima tahun setelah ICPD Kairo 1994, ternyata
Indonesia tidak memperlihatkan hasil yang bermakna atau tidak bisa bergeming
dari posisi sebagai negara dengan AKI tertinggi di Asia Tenggara. Perbandingan
dengan negara-negara tetangga seAsia Tenggara menunjukkan bahwa AKI 373 per
100,000 kelahiran hidup 37 kali lebih tinggi dari pada Singapura (AKI 10),
hampir 5 kali Malaysia (AKI 80), dan masih lebih tinggi dari Vietnam (AKI 160),
Thailand (AKI 200), dan Filipina (AKI 280 per 100,000 kelahiran hidup). Apalagi
kalau digunakan data perkiraan AKI yang dipakai UNICEF untuk Indonesia, yaitu
650 per 100,000 kelahiran hidup (Population Action International, The
Reproductive Risk Index, 2001).
Tingginya
AKI mengindikasikan masih rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk dan secara
tidak langsung mencerminkan kegagalan pemerintah dan masyarakat untuk
mengurangi risiko kematian ibu. Peningkatan kualitas perempuan merupakan salah
satu syarat pembangunan sumber daya manusia.
Strategi
untuk menurunkan risiko kematian karena aborsi tidak aman adalah dengan
menurunkan „demand’ perempuan terhadap aborsi tidak aman. Ini dapat
dimungkinkan bila pemerintah mampu menyediakan fasilitas keluarga berencana
yang berkualitas dilengkapi dengan konseling. Konseling keluarga berencana
dimaksudkan untuk membimbing klien melalui komunikasi dan pemberian informasi
yang obyektif untuk membuat keputusan tentang penggunaan salah satu metode
kontrasepsi yang memadukan aspek kesehatan dan keinginan klien, tanpa
menghakimi. Bagi remaja yang belum menikah, perlu dibekali dengan pendidikan
seks sedini mungkin sejak mereka mulai bertanya mengenai seks. Namun, perlu
disadari bahwa risiko terjadinya kehamilan selalu ada, sekalipun pasangan
menggunakan kontrasepsi. Bila akses terhadap pelayanan aborsi yang aman tetap
tidak tersedia, maka akan selalu ada „demand‟ perempuan terhadap aborsi tidak aman.
D. UPAYA
YANG DILAKUKAN (Upaya Mengurangi Abortus Buatan Ilegal di Kalangan Tenaga
Kesehatan)
Para
dokter dan tenaga medis lainnya, hendaklah selalu menjaga sumpah profesi dan
kode etiknya dalam melakukan pekerjaan. Jika hal ini secara konsekwen dilakukan
pengurangan kejadian abortus buatan ilegal akan secara signifikan dapat
dikurangi.
Dalam
deklarasi Oslo (1970) tentang pengguguran kandungan atas indikasi medik,
disebutkan bahwa moral dasar yang dijiwai seorang dokter adalah butir Lafal
Sumpah Dokter yang berbunyi:
”Saya
akan menghormati hidup insani sejak saat pembuahan: oleh karena itu Abortus
buatan dengan indikasi medik, hanya dapat dilakukan dengan syarat-syarat
berikut”:
1. Pengguguran
hanya dilakukan sebagai suatu tindakan terapeutik.
2. Suatu
keputusan untuk menghentikan kehamilan, sedapat mungkin disetujui secara
tertulis oleh dua orang dokter yang dipilih berkat kompetensi profesional
mereka.
3. Prosedur
itu hendaklah dilakukan seorang dokter yang kompeten di instalasi yang diakui
oleh suatu otoritas yang sah.
4. Jika
dokter itu merasa bahwa hati nuraninya tidak memberanikan ia melakukan
pengguguran tersebut, maka ia hendak mengundurkan diri dan menyerahkan
pelaksanaan tindakan medik itu kepada sejawatnya yang lain yang kompeten.
5. Selain
memahami dan menghayati sumpah profesi dan kode etik, para tenaga kesehatan
perlu pula meningkatkan pemahaman agama yang dianutnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Proses pembuktian atas kasus Abortus Buatan
Ilegal sangat sulit dan rumit, mengingat para pihak dalam melakukan perbuatan
tersebut selalu didahului pemukatan (jahat) untuk saling merahasiakan.
2.
Bagaimanapun juga tindakan abortus adalah
merupakan tindakan yang tidak dapat ditolerir baik dari segi hukum maupun
agama.
3.
Bagi tenaga kesehatan, khususnya Dokter,
Bidan dan Juru Obat, ancaman pidana melakukan perbuatan Abortus Buatan Ilegal
dapat ditambah sepertiga dari ancaman hukumannya.
Saran
– saran
1.
Diharapkan kepada orangtua agar lebih
memperhatikan kondisi/ keadaaan anak khususnya perempuan, seperti membatasi
pergaulan, dan memberikan informasi lebih awal tentang aborsi, serta ilmu agama
yang lebih mendalam dengan harapan agar si anak tidak terjebak dalam kondisi
yang kemungkinan dapat terjadi seperti itu.
2.
Untuk itu baik pemerintah, masyarakat,
sekolah dan orangtua agar dapat memberikan masukan (suplemen) khusus kepada remaja
wanita, agar pola pikir tentang arah-arah negatif dapat dihindari sejak dini
3.
Hendaknya para tenaga kesehatan agar selalu
menjaga sumpah profesi dan kode etiknya dalam melakukan pekerjaan, sehingga
pengurangan kejadian Abortus Buatan Ilegal dapat dikurangi.
DAFTAR PUSTAKA
1.
GOI & UNICEF. Laporan Nasional Tindak
Lanjut Konferensi Tingkat Tinggi Anak (Draft). Desember 2000.
2.
Mochtar, Rustam, 1987, Sinopsis Obstetri,
Edisi 2, Valentino Group, Medan
3.
WHO-SEARO. Regional Health Report 1998: Focus
on Women. New Delhi: WHO-SEARO, 1998
4.
WHO. Safe Abortion: Technical and Policy
Guidance for Health System. A Draft 4 September 2002.
5.
Zumrotin K. Susilo and Herna Lestari.
Disampaikan pada acara Temu Ilmiah Fertilitas Endokrinologi Reproduksi, Hotel
Savoy Homann Bidakara Bandung, 6 Oktober 2002. Artikel.
6.
Syafruddin. Abortus Provocatus dan Hukum.
USU-Library. 200
No comments:
Post a Comment